Teori Psikososial Erikson (Makalah kelompok Ade Hastina Psikologi 2011)



BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seorang anak, Erik Salomonsen memiliki banyak pertanyaan namun sedikit saja jawaban tentang ayah biologisnya. Dia tahu siapa ibunya, yaitu seorang wanita Yahudi yang cantik bernama Dane yang keluarganya berusaha tampil sebagai orang Denmark lebih daripada keluarga Yahudi. Tapi siapakah ayahnya ?
Lahir dalam keluarga single parent,anak laki-laki ini memegang 3 keyainan yang berbeda  tentang asal usulnya.Awalnya dia percaya bahwa suami ibunya adalah seorang dokter bernama Theodore Homburger,adalah ayah biologisnya.Namun ketika Erik bertambah besar,dia mulai menyadari bahwa keyakinannya tidak benar karena rambut pirang dan mata birunya tidak cocok dengan ciri-ciri orang tuanya yang berambut hitam dan mata hitam.Dia mendesak pada ibunya untuk menjelaskan hal ini namun,dia berbohong dan mengaatakan kepadanya seorang lelaki bernama Valdemar Salomonsen-suami pertamanya-adalah ayah biologisnya,dan bahwa dia meninggalkan sang ibu ketika megandung Erik.Akhirnya,Erik memilih untuk percaya bahwa dia adalah hasil perbuatan tidak senonoh antara ibunya dengan seorang seniman Denmark yang berbakat.Untuk sisa hidupnya,Erik mempercayai 3 cerita ini namun,dia terus mencari sendiri identitasnya dengan cara mencari nama ayah biologisnya yang sesengguhnya. 
Selama usia sekolah,ciri-ciri Skandinavian Erik memberikan kontribusi bagi kebingungan identitasnya.Ketika masuk ke sinagog orang Yahudi,mata biru dan rambut pirang membuat dia terlihat seperti orang asing.Tetapi disekolah umum,teman-taman aryanya menyebut dia anak Yahudi sehingga dia merasa seperti orang luar dikedua tempat ini.Diseluruh hidupnya dia memiliki kesulitan untuk menerima dirinya sebagai orang Yahudi ataukah non-Yahudi.
Ketika ibunya meninggal,Erik yang saat itu berusia 58 tahun takut tidak akan pernah mengetahui identitas ayah biologisnya,karena itu dia terus mencarinya.Ahrinya,lebih dari 30 tahun kemudian dan ketika pikiran dan tubuhnya sudah sangat renta,Erik kehilangan minat untuk mencari tau jati diri ayah biologisnya. Namun begitu,ia terus menunjukan kebingungan identitasnya.Contehnya ia kebanyakan berbicara dalam bahasa Jerman yang digunakan ketika muda,dan jarang berbicara dalam bahasa inggris,bahasa utamanya selama lebih 60 tahun.Selain itu dia mempertahankan kedekatan sepanjang hayat dengan Denmark dan orang-orang negeri itu,dan menunujukan rasa bangga ketika memasang bendera Denmark dalam rumahnya,sebuah negeri yang tidak pernah dia tinggali sedikitpun.


















BAB II
TEORI POST FREUDIAN

            Erikson adalah seorang tokoh yang selalu dikaitkan dengan istilah krisis identitas. Erikson tidak memiliki gelar apa pun dari bidang studi apa pun namun, kurangnya pendidikan normal ini tidak mencegah dia mencapai ketenaran mendunia di beragam bidang studi yang mengesankan, seperti psikoanalisis, antropologi, psikosejarah, dan pendidikan.
            Tidak seperti para teoritisi psikodinamis sebelumnya yang pernah terikat sepenuhnya dengan psikoanalisis Freudian, Erikson memaksudkan teorinya untuk mengembangkan asumsi-asumsi Freud bukan menentangnya dan menawarkan “sebuah cara baru melihat berbagai hal” (Erikson, 1963, hlm. 403). Teori post-Freudian memperluas tahap-tahap perkembangan infantile Freud menuju masa remaja, masa dewasa dan usia senja. Erikson yakin bahwa di setiap tahapan, sebuah pergulatan psikososial spesifik memberikan kontribusi bagi pembentukan kepribadian. Dari masa remaja seterusnya, pergulatan itu mengambil bentuk krisis identitas - sebuah titik balik dalam hidup seseorang yang bisa memperkuat atau melemahkan kepribadian.
Erikson menganggap teori post-Freudiannya perluasan psikoanalisis, sesuatu yang mungkin sudah dilakukan juga oleh Freud dalam beberapa hal. Selain itu, untuk mengelaborasikan tahapan-tahapan psikoseksual selanjutnya setelah masa kanak-kanak, Erikson menekankan lebih banyak kepada pengaruh-pengaruh sosial dan historis.  
Teori post-Freudian Erikson, seperti halnya teori kepribadian lainnya, adalah refleksi dari latar belakang penciptanya, sebuah latar belakang yang meliputi seni, perjalanan yang luas, pengalaman-pengalaman dengan beragam budaya, dan pencarian seumur hidup identitasnya sendiri.

BAB III
SEJARAH ERIKSON

             Jadi siapakah Erik Erikson ? Apakah dia orang Denmark, Jerman ataukah Amerika ? Yahudi ataukah non-Yahudi ? Seniman ataukah Psikoanalis ? Erikson sendiri kesulitan menjawab pertanyaan ini dan dia menghabiskan hampir seluruh hidup untuk menentukan siapa dirinya sebenarnya ?
Lahir pada 15 Juni 1902 di Jerman selatan,Erikson debesarkaan oleh ibu kandung dan ayah tirinya namun saat itu dia masih tidak mengetahui jati diri ayah kandungnya.Untuk menemukan makna dalam hidup,Erikson mengenmbara jauh dari rumah selama masa remaja,mengambil bentuk kehidupan sebagai seniman dan penyair pengelana.Setalah hampir 7 tahun berpetualang dan menyelidiki,dia kembali pulang ke rumah dengan penuh kebingungan,kelelahan,depresi dan tidak sanggup membuat sketsa ataupun lukisan.Pada waktu ini,sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya.Dia menerima sepucuk surat dari temannya Peter Blos yang mengundang dia mengajar anak-anak di sebuah sekolah baru di Wina. Salah satu pendiri sekolah ini adalah Anna Freud yang bukan hanya menjadi bos Erikson,tetapi psikoanalisnya juga. Ketika menjalani perawatan analis,dia menceritakan kepada Anna Freud bahwa masalahnya yang paling sulit adalah penvarian identiras ayah kandungnya.Namun nona Freud ini tidak beitu tertarik dan menyuruh Erikson untuk berhenti berfantasi tentang ayahnya yang tidak pernah ada.Meskipun erikson biasanya mematuhi psikoanalisnya namun,untuk hal ini dia tidak bisa menerima nasihat Anna agar berhenti  mencari jati diri sang ayah.
Ketika di Wina Erikson bertemu dan atas seijin Anna freud menikahi Joan Serson,seorang penari,seniman,dan guru kebangsaan Canada,yang juga mengalami sesi analis.Dengan latar belakang Psikoanalitiknya dan kemampuannya berbahasa inggris,Joan menjadi editor sekaligus penulis pendamping yang berharga  bagi buku Erikson.
Erikson memiliki 4 anak :toga putra Kai,John,dan Neil,dan satu puteri Sue.Kai dan Sue mengejar karir professional yang penting namun John,mengikuti pengalaman ayahnya sebagao seniman pengembara,bekerja sebagai buruh dan tidak pernah merasakan kedekatan emosional dengan  orangtuanya.
Pencarian identitas Erikson membawanya kedalam pengalaman sulit selama tahap perkembangan dewasanya (Friedman,1999).menurut Erikson tahapan ini mensyaratkan seseorang untuk mengasuh anak,produk-produk,dan ide yang sudah dibangkitkan sebelumnya untuk hal ini,Erikson tidak bisa memenuhi standarnya sendiri.Dia gagal mengasuh Neil yang lahir dengan Sindrom Down.Di rumah sakit ketika Joan masih tinggal di bangsal ibu melahirkan,Erik setuju untuk memasukkan Neil kedalam institusi kejiwaan.Kemudian dia pulang dan menceritakan kepada 3 anaknya bahwa adiknya sudah meninggal ketika lahir.Dia berbohong kepada mereka seperti ibunya sudah membohongi tentang identitas ayah kandungnya.Dikemudian hari,Erikson menceritakan kebenaran ini pada Kai putra tertuanya namun tetap berbohong kepada John  dan Sue.Meskipun kebohongan ibunya sudah membuat erikson begitu teertekan namun dia gagal memahami bahwa kebohongannya tentang Neil membuat anaknya tertekan juga.Ketika menipu anaknya seperti itu Erikson sudah melanggar 2 prinsip ajarannya sendiri,”jangan berbohong kepada mereka yang harusnya kamu rawat”,dan “jangan membuat anggota keluarga bertengkar satu sama lain.”Untuk menceritakan yang sesungguhnya ketika Neil meninggal di usia 20 tahun,keluarga Erikson yang saat itu sedang berada di Eropa memanggil Sue dan John dan memerintahkan mereka menangani semua urusan pemakaman adik dan tidak [ernah mereka temui dan yang saat itu baru mengetahu kalau mereka memiliki adik (Friedman,1999).
Erikson juga mencari identitasnya dengan berganti pekerjaan dan tempat tinggal.Karena tidak memiliki gelar akademik,diap[un tidak memilikii identitas professional sepesifik,dan umumnya dikena; sebagai seniman, psikolog, psikoanalis, klinisi, professor, antropolog budaya, eksistensialis psikobigrafer dan cendekiawan masyarakat. Pada 1933,dengan kebangkutan rasisme di Eropa Erikson dan keluarganya meninggalkan Wina dan pindah untuk sementara waktu ke Denmark,berharap dapat memperoleh kewarganegaraan disana.Ketika pemerintah Denmark menolak permintaannya,diapun meninggalkan Kopenhagem dan berimigrasi ke Amerika Serikat.Di Amerika,erikson melanjutkan polanya berpindah tempat.Dia pertama tinggal di sekitar Boston tempatnya membuka praktik Psikoanalisis yang sudah dimodifikasi.tanpa gelar medis maupun  gelar universitas manapun,dia menerima posisi sebagai peneliti di rumah Sakit Umum Massachussets,Fakultas kedokteran Harvard dan klinik psikologi Harvard.
Erikson ingin menulis,tetapi karena waktu yang diberikan jadwalnya yang padat di Boston dan Cambridge yang sangat sedikit,diapun menerima tawaran di Yale pada 1936 namun m,setelah 2 setengah tahun dia pindah lagi,kali ini ke University of California di Berkeley,dan menghabiskan beberapa waktu tinggal di tengah-tengah suku Indian Sioux di cagar budaya Pine Ridge,South Dakota,untuk memp[elajario mereka.beberapa tahun kemudian dia kembali tinggal di tengah-tengah suku Indian Yurok di Califprnia Utara,dan semua pengalaman dalam antropologi budaya ini melengkapi konsep kemanusiannya dengan unsure-unsur yang kaya dan lengkap.
Selama periode California ini, Erikson secara bertahap mengembangkan sebuah teori kepribadian yang berbeda dari freudnamun tidak bermaksud menentangnya. Pada 1950, erikson menerbitkan Childhood and Society, sebuah judul yang sekilas tampaknya menjadi perangkum dari bab-bab yang isinyatidak saling berkaitan. Namun, akhirnya dia menyadari bahwa pengaruh dari faktor-faktor  psikologis, budaya, dan historis mengenai identitas adalah elemen yang melandasi penyatuan bab-bab yang beragam itu. Childhood and Society, karya klasik yang mengantarkan Erikson kepada reputasi internasional sebagai pemikir yang penuh imajinatif, merupakan pengenalan terbaik bagi teori kepribadian post-freudiannya.
Pada tahun 1960, Erikson kembali ke Harvard dan selama 10 tahun berikutnya, memegang posisi sebagai professor di bidang perkembangan manusia. Setelah pensiun, Erikson meneruskan karier aktifnya_menulis, memberikan kuliah dan menangani pasien. Selama tahun-tahun awal sehabis [pension, dia berpindah-pindah dari Marin County di California ke Cambridge di Massachussets, dan kemudian ke Cape Cod. Selama perubahan domisili ini pun, Erikson masih terus mencari jati diri ayahnya, sampai akhirnya dia meninggal pada 12 Mei 1994 di usia 91 tahun.


























BAB IV
PSIKOLOGI EGO

            Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa Freud menggunakan analogi kuda dan penunggangnya untuk menggambarkan hubungan id dan ego. Penunggang kuda(ego) pada akhirnya harus tunduk pada kesediaan kuda(id) yang jauh lebih kuat ketimbang dirinya untuk menuruti perintahnya. Ego tidak memiliki kekuatan dari dirinya sendiri, dia harus meminjam energinya dari id. Selain itu, ego secara konstan  berusaha menyeimbangkan tuntunan-tuntunan membabi-buta superego kepada daya-daya id yang tidak kenal lelah dan kesempatan-kesempatan yang realistic dunia eksternal. Freud percaya bahwa, pada manusia yang sehat, ego sudah berkembang untuk mampu mengendalikan id meskipun kontrolnya masih rapuh dan impuls-impuls id masih dapat mengganggu dan mengalahkannya kapan pun.
            Sebaliknya, Erikson yakni bahwa ego kita merupakan sebuah kekuatan positif yang menciptakan identitas diri, sebuah pengertian tentang “aku”. Sebagai pusat kepribadian, ego membantu kita beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis kehidupan dan menjaga kita dari kehilangan individualitas di hadapan daya-daya social. Selama masa kanak-kanak, ego lemah, fleksibel, dan rapuh, tetapi pada masa remaja dia harus mulai mengambil bentuk tertentu dan memperoleh kekuatannya. Di seluruh fase hidup kita, ego menyatukan kepribadian dan menjaga kita dari ketercabikan. Erikson melihat ego sebagai badan pengorganisasian yang sebagian bekerja secara bawah sadar untuk mensintesiskan pengalaman-pengalaman kita di masa kini dengan identitas diri di masa lalu dan gambaran diri ke depan. Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan pribadi untuk menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson, 1963).
            Erikson (1968) mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait: ego-tubuh, ideal-ego, dan identitas-ego. Ego-tubuh (body ego) mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, sebuah cara melihat diri fisik kita sebagai hal yang berbeda dari milik orang lain. Kita mungkin dapat merasa puas atau tidak dengan cara  tubuh terlihat atau berfungsi namun, kita sadar kalau hanya tubuh ini saja yang kita miliki. Ideal-ego (ego ideal) merepresentasikan imaji-imaji yang kita miliki tentang diri kita sendiri jika dibandingkan dengan gambar ideal ego yang lain. Ideal ego bertanggung jawab bagi rasa puas atau tidak, bukan hanya yang berkaitan dengan diri fisik kita namun, juga dengan seluruh identitas personal kita. Identitas-ego (ego identity) adalah imaji yang kita miliki tentang diri kita di beragam peran social yang kita mainkan. Meskipun remaja biasanya merupakan masa saat ketiga komponen ini berubah paling cepat, perubahan-perubahan di dalam ego-tubuh, ideal-ego dan identitas-ego dapat dan selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.
A.    Pengaruh Masyarakat
  Meskipun kemampuan bawaan penting dalam perkembangan kepribadian namun, ego muncul dari dan kebanyakan dibentuk oleh masyarakat. Penekanan Erikson terhadap faktor-faktor  sosial dan historis berkebalikan dengan sudut pandang Freud yang kebanyakan bersifat biologis. Bagi Erikson, pada waktu manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi namun, untuk menjadi aktual dia harus hadir dalam lingkungan cultural. Masyarakat-masyarakat yang berbeda, dengan variasi mereka dalam praktik pengasuhan anak, cenderung membentuk kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka sendiri.
            Contohnya, Erikson (1963) menemukan bahwa pengasuhan bayi yang lama dan permisif dari Suku Sioux (kadang-kadang sampai 4 atau 5 tahun lamanya) menghasilkan sesuatu yang setara yang disebut Freud kepribadian “oral”: yaitu manusia yang mencapai  kesenangan besar melalui fungsi-fungsi mulut. Suku Sioux menempatkan nilai yang tinggi terhadap kebaikan hati, dan Erikson percaya bahwa hasil yang pasti dari pemberian ASI tak terbatas ini menyediakan pondasi bagi kebaikan hati. Namun begitu, orangtua Suku Sioux segera menghukum gigitan yang terjadi, sebuah praktik yang dapat memberikan kontribusi bagi daya tahan sekaligus kemarahan.
            Di sisi lain, manusia-manusia Suku Yurok menetapkan regulasi yang ketat terkait pengeliminasian urin dan feses, praktik yang cenderung berkembang kepada kepribadian “anal”, atau kerapian, kekeraskepalaan, dan kekacauan yang kompulsif. Di masyarakat Amerika-Eropa, oralitas, dan analitas sering kali dianggap sebagai karakter yang tidak diinginkan atau malah menjadi simtom-simtom neurotik. Namun begitu, Erikson (1963), berpendapat bahwa oralitas di antara para pemburu Suku Sioux dan analitas di antara nelayan Yurok memiliki ciri adaptif yang membantu individu sekaligus budaya mereka.
            Fakta bahwa budaya Amerika-Eropa melihat oralitas dan analitas sebagai karakter yang menyimpang hanya dianggap sebagai kekhasan etnosentris oleh masyarakat lainnya. Erikson (1968, 1974) berpendapat bahwa semua suku atau bangsa yang historis, termasuk Amerika Serikat sendiri, telah mengembangkan apa yang disebutnya pseudospesies: yaitu sebuah ilusi yang mendominasi dan disebarkan oleh masyarakat tertentu, sesuatu yang sudah dipilih untuk menjadi prasyarat bagi sebuah spesies manusia. Di abad-abad lalu, keyakinan ini menolong suku-suku bertahan hidup namun, dengan cara-cara modern dalam bentuk pemusnahan global, persepsi yang diasumsikan seperti itu (seperti ditunjukkan Nazi Jerman) malah mengancam pertahanan hidup setiap bangsa.
             Salah satu kontribusi utama Erikson bagi teori kepribadian adalah perluasan tahap-tahap awal perkembangan Freudian sampai meliputi usia sekolah, masa muda, masa dewasa dan masa tua. Sebelum melihat teori Erikson tentang perkembangan ego ini lebih jauh, kita harus membahas lebih dulu pandangannya tentang bagaimana kepribadian berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya.
B.     Prinsip Epigenetik
              Erikson percaya bahwa ego berkembang diberagam tahap kehidupan menurut prinsip epigenetic, sebuah istilah yang di pinjamkan dari embriologi. Perkembangan epigenetic menghasilkan pertumbuhan organ-organ bayi tahap-demi-tahap. Embrio tidak di mulai sebagai manusia kecil yang sudah berkembang sepenuhnya, melainkan harus menunggu pengembangan struktur dan bentuknya. Sebaliknya, ketika berkembang atau mestinya berkembang, maka perkembangan itu di dasarkan pada proporsi yang sudah di tentukan dengan cara yang tetap. Jika mata, hati, atau organ lain tidak berkembang selama periode kritis perkembangannya, mereka tidak akan pernah mencapai kematangan yang tepat.
              Dengan cara yang sama, ego mengikuti jalan perkembangan epigenetic, dimana setiap tahapannya berkembang pada waktu yang tepat. Satu tahap muncul dari dan dibangun di atas tahap sebelumnya namun, tidak menghilangkan atau menggantikan tahap sebelumnya. Perkembangan epigenetic ini analog dengan perkembangan fisik anak-anak, yang merangkap terlebih dahulu sebelum dapat berjalan, berjalan terlebih dahulu sebelum dapat berlari, dan berlari terlebih dahulu sebelum dapat melompat. Ketika anak-anak masih dalam tahap merangkak, mereka sedang mengambangkan potensi untuk berjalan, berlari dan melompat. Setelah mereka masih mempertahankan kemampuan sebelumnya dalam berlari, berjalan dan merangkak. Erikson (1968) melukiskan prinsip epigenetic dengan menyatakan “apa pun yang tumbuh memiliki sebuah rancangan dasar, dan dari rancangan dasar ini setiap rancangan partikuler muncul, dimana setiap bagiannya memiliki waktu khusus untuk muncul, sampai kemudian semua bagiannya muncul untuk membentuk sebuah keseluruhan yang berfungsi”. Ringkasnya, “epigenesis berarti bahwa sebuah karakteristik berkembang di atas karakteristik lain dalam alur ruang dan waktu”.
              Prinsip epigenetik ini di ilustrasikan dalam gambar A, yang berisi 3 tahap perkembangan pertama Erikson. Urutan-urutan tahapan (1,2,3) dan perkembangan bagian-bagian komponen mereka (A,B,C) ditunjukkan dengan kotak yang bergaris tebal dalam arah diagonal. Gambar A menunjukkan bahwa setiap bagian sudah hadir sebelumwaktu kritis (min. sebagai potensi biologis), muncul pada waktu yang tepat, dan akhirnya terus berkembang selama tahap-tahap berikutnya. Sebagai contoh, komponen B di tahap 2 (masa kanak-kanak awal) sudah hadir selama tahap 1 (masa bayi) seperti ditunjukkan di kotak 1b. Bagian B baru mencapai tingkat perkembangan penuh selama tahap 2 (kotak 2b) namun, terus berlanjut di semua tahapan berikutnya (erikson, 1982).
                                                 Bagian-bagian (Gambar A)
                                                    A              B               C
3a
3b
3c
2a
2b
2c
1a
1b
1c

Tahap Bermain             3 

Kanak-kanak Awal      2


Masa Bayi                     1
















BAB V
TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

               Psikososial dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh social yang berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
               Untuk memahami ke delapan tahap perkembangan psikososia Erikson, kita memerlukan sebuah pengertian tentang beberapa hal dasar. Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetic. Yaitu, satu bagian komponen muncul dari bagian komponen sebelumnya dan memiliki waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya komponen-komponen sebelumnya.
               Kedua,disetiap tahap kehidupan pendapat sebuah interaksi hal-hal yang berlawanan-yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik ( konflik). Sebagai contoh, pada masa bayi kepercayaan yang dasar (kecenderungan sintonik) bertentangan dengan ketidakpercayaan dasar (kecenderungan distonik). Namun  rasa percaya dan tidak percaya ini dibutuhkan bagi pengadaptasian yang tepat. Bayi yang hanya belajar percaya akan menjadi naïf dan tidak siap menghadapi realitas-realitas ditahap perkembangan berikutnya, sementara bayi hanya belajar tidak percaya menjadi terlalu banyak curiga dan sinis. Dengan cara yang sama, disetiap 7 tahapan yang lain, manusia harus memiliki pengalaman harmoni (sintonik) maupun pengalaman konflik (distonik).
               Ketiga, disetiap tahapan, konflik antara elemn-elemen distonik dan sintonik menghasilkan sebuah kualitas ego atau kekuatan ego, yang disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength). Sebagai contoh, dari antithesis antara rasa percaya dan tidak percaya muncullah harapan, sebuah kualitas ego yang mengijinkan pergerakan ke tahap selanjutnya. Deengan cara yang sama, masing-masing tahapan yang lain ditandai oleh kekuatan ego dasar yang muncul dari pertentangan elemen-elemen harmoni dan konflik tahapan tersebut.
               Keempat, kekeuatan dasar yang terlalu kecil disetiap tahapan akan menghasilkan patologi inti (core phatology) ditahapan tersebut.  Contohnya, seorang anak yang tidak mencapai kekuatan dasar harapan yang cukup selama masa bayi akan mengembangkan antithesis atau lawan dari harapan, yaitu penarikan diri (withdrawal). Dan setiap tahapan memiliki hanya satu patologi inti yang potensial.
               Kelima, meskipun erikson menyebutkan kedelapan tahapan ini sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak pernah melepaskan keberadaan aspek biologis perkembangan manusia.
               Keenam, peristiwa-peristiwa ditahap-tahap sebelumnya bukan satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian berikutnya. Lebih tepatnya, identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik dan peristiwa-masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan.
               Ketujuh, selama tahap perkembangan namun, khusus dari masa remaja kedepan, perkembngan kepribadian dicirikan oleh sebuah krisis identitas, yang disebut Erikson “sebuah titik balik”, sebuah periode krusial dari potensi yang semakin rapuh dan meninggi.” Karena itu, di setiap krisis, setiap pribadi secara khusus terbuka bagi modifikas-modifikasi utama dalam identitas, entah positif maupun negative. Berlawanan dari pengertian populernya, krisis identitas bukan peristiwa yang membawa bencana melainkan kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri yang entah bersifat adaptif maupun kekeliruan-adaptif.
               Delapan tahap perkembangan psikososial Erikson ini ditunjukkan di dalam Gambar B. Kata-kata yang ditulis dalam huruf besar tebal adalah kual;itas ego atau kekuatan dasar ego yang muncul dari konflik atau krisis psikososial yang mencirikan setiap periode. Istilah vs. memisahkan elemen sintonik dan distonik yang menandai bukan hanya hubungan antithesis namun, juga komplementer. Hanya kotak-kotak di sepanjang garis diagonal saja yang diisi keterangan-artinya, kotak yang dibuat dalam huruf tebal dalam Gambar B hanya menunjukkan kekuatan dasar dan krisis psikososial yang menjadi cirri paling umum dari setiap tahap perkembangan itu. Namun demikian , prinsip epigenetic menyatakan bahwa semua kotak yang lain juga harus diisi keterangan (seperti dalam Gambar A), meskipun keterangan cirri-ciri ini bukanlah karakteristik utama di setiap tahap perkembangan psikososial tersebut. Setiap keterangan  di setiap kotak sangat vital bagi perkembangan kepribadian,dan masing-masing berkaitan satu sama lain dengan seluruh kotak pada diagram tersebut.
               Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :
1.      Masa Bayi
Tahap psikososial pertama adalah masa bayi. Menurut Erikson, masa bayi adalah masa memasukan (incorporation), dimana bayi bukan hanya memasukkan benda-benda leat mulut, tetapi juga lewat beragam organ indra mereka.  Lewat  mata, contohnya, bayi memasukkan beragam stimulus visual. Ketika memasukkan makanan dan informasi indrawi, bayi belajar untuk  percaya  atau tidak percaya kepada dunia luar,sebuah situasi yang  memberi mereka harapan yang realistik. Masa bayi, kalau begitu, ditandai oleh mode psikoseksual oral-penginderaan, krisis psikososialnya rasa percaya mendasar versus rasa tidak percaya mendasar, dan kekuatan dasarnya harapan.
Trust versus Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. dan merasa terancam terus menerus. Rasa percaya tersebut menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan  visual yang menyenangkan, mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan anatar kebutuhan-kebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal.
Rasa percaya dasar biasanya bersifat sitonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat distonik. Meskipun begitu bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhadap tipu muslihat dunia, sementara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme atau depresi.
Keduanya rasa percaya dan tidak percaya mendasar merupakan pengalaman yang tidak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah medapatkan makan dan perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain itu, semua bayi yang sudah difrustasikan oleh rasa sakit, lapar, dan tidak nyaman memiliki alasan yang cukup untuk tidak percaya. Erikson yakni bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi. Dia mengatakan kepada Richard Evans (1967) bahwa “saat kita memasuki  sebuah situasi, kita harus sanggup membedakan seberapa banyak kita dapat percaya dan seberapa banyak kita harus tidak percaya dan saya menggunakan rasa tidak percaya dalam pengertian kesiapan menghadapi bahaya dan sebuah antisipasi bagi rasa tidak nyaman”.
Konflik tak terelakkan antara rasa percaya mendasar dan rasa tidak percaya mendasar menghasilkan krisis psikososial pertama manusia. Jika manusiaberhasil menyelesaikan krisis ini, mereka akan mendapatkan kekuatan dasar pertama mereka harapan.



2.      Masa Kanak-kanak Awal
Tahap psikososial kedua adalah masa kanak-kanak adalah masa kanak-kanak awal, sebuah periode yang paralel dengan tahap anal Freud dan mencakup kira-kira tahun ke-2 sampai ke-3. Sekali lagi, sejumlah perbedaan muncul antara pendapat Freud dan Erikson. Sebelumnya kita sudah melihat Freud menganggap anus sebagai zona  erogen utama periode ini dan selama fase anal-sadistik awal, di mana yang pertama anak-anak menerima raa senang dalam merusak atau menghilangkan objek-objek, sementara yang kedua  mereka mencari kepuasan dengan buang air besar. Sekali lagi, Erikson mengambil sebuah pandangan yang lebih luas. Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari menguasai otot-otot anus dan perut namun, juga dari menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya seperti buang air kecil, berjalan,melempar,dan sebagainya. Selain itu, anak-anak mengembangkan perasaan kontrol atas lingkungan antarpribadi mereka, sama seperti mengukur kontrol diri mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal juga merupakan waktu untuk mengalami keraguan dan rasa malu ketika anak belajar bahwa sebagian besar upaya mereka mencapai otonomi tidak berhasil.
Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu)
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun atau pada akhir masa bayi dan masa mulai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Pada tahap ini bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan mereka, maka anak akan mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri sendiri. Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
3.      Usia Bermain
Tahap ketiga perkembangan Erikson adalah usia bermain, sebuah periode yang meliputi masa yang sama dengan fase falik Freud.
Initiative versus Guilt (Inisiatif vs Kesalahan)
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai  5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya.

4.      Usia Sekolah
Industry versus Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas)
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Pada tahap ini anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, bila anak tidak berhasil menguasai ketrampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.
5.      Masa Remaja
Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang krusial, karena di akhir periode ini seseorang harus mencapai perasaan identitas ego yang teguh.
Identity versus Identity Confusion (Identitas vs Kekacauan Identitas)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun atau selama masa remaja. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson, “masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.” Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah masyarakat, baik peran yanSeg bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbaharui. Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan social dan histories di pihak lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa dan bimbang.




6.      Masa Dewasa Muda
Setelah mencapai perasaan identitas selama masa remaja, manusia harus meraih kemampuan untuk mencampurkan identitas tersebut dengan identitas orang lain sembari mempertahankan perasaan individualitas mereka.
Intimacy versus Isolation (Keintiman vs Isolasi)
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri atau membentuk relasi intim dengan orang lain. Menurut Erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas.
7.      Masa Dewasa
Tahap perkembangan ke tujuh adalah masa dewasa, waktu ketika manusia mulai mengambil tempat di masyarakat dan mengasumsikan sebuah tanggung jawab bagi apa pun yang dihasilkan masyarakat.
Generativity versus Stagnation (Generativitas vs Stagnasi)
Tahap yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Masa dewasa madya berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk, ide, dsb) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson dengan “generativitas”. Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadain akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi.

8.      Usia Senja
Tahap kedelapan dan terakhir Erikson adalah usia senja Erikson masih berumur 40-an tahun ketika dia pertama kalimengonseptualisasikan tahapan ini sehinggaa dengan semena-mena mendefinisikannya sebagai periodedari usia 60-an tahun sampai akhir hayat manusia.
Integrity versus Despair (Integritas vs Keputusasaan)
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas atau selama akhir masa dewasa. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasaaman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi orang tua yang dihantui oleh perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa.


.

KESIMPULAN
Erikson yakni bahwa ego kita merupakan sebuah kekuatan positif yang menciptakan identitas diri, sebuah pengertian tentang “aku”. Sebagai pusat kepribadian, ego membantu kita beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis kehidupan dan menjaga kita dari kehilangan individualitas di hadapan daya-daya social. Selama masa kanak-kanak, ego lemah, fleksibel, dan rapuh, tetapi pada masa remaja dia harus mulai mengambil bentuk tertentu dan memperoleh kekuatannya. Di seluruh fase hidup kita, ego menyatukan kepribadian dan menjaga kita dari ketercabikan. Erikson melihat ego sebagai badan pengorganisasian yang sebagian bekerja secara bawah sadar untuk mensintesiskan pengalaman-pengalaman kita di masa kini dengan identitas diri di masa lalu dan gambaran diri ke depan. Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan pribadi untuk menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson, 1963).
            Erikson (1968) mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait: ego-tubuh, ideal-ego, dan identitas-ego. Ego-tubuh (body ego) mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, sebuah cara melihat diri fisik kita sebagai hal yang berbeda dari milik orang lain. Kita mungkin dapat merasa puas atau tidak dengan cara  tubuh terlihat atau berfungsi namun, kita sadar kalau hanya tubuh ini saja yang kita miliki. Ideal-ego (ego ideal) merepresentasikan imaji-imaji yang kita miliki tentang diri kita sendiri jika dibandingkan dengan gambar ideal ego yang lain. Ideal ego bertanggung jawab bagi rasa puas atau tidak, bukan hanya yang berkaitan dengan diri fisik kita namun, juga dengan seluruh identitas personal kita. Identitas-ego (ego identity) adalah imaji yang kita miliki tentang diri kita di beragam peran social yang kita mainkan. Meskipun remaja biasanya merupakan masa saat ketiga komponen ini berubah paling cepat, perubahan-perubahan di dalam ego-tubuh, ideal-ego dan identitas-ego dapat dan selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata Sumadi. Psikologi Kepribadian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
Papalia.D., Old. S., Feldman. Human Development. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.
Feist  Jess.,  Feist J Gregory.  Theories of Personality.  Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2008