BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seorang anak,
Erik Salomonsen memiliki banyak pertanyaan namun sedikit saja jawaban tentang
ayah biologisnya. Dia tahu siapa ibunya, yaitu seorang wanita Yahudi yang
cantik bernama Dane yang keluarganya berusaha tampil sebagai orang Denmark
lebih daripada keluarga Yahudi. Tapi siapakah ayahnya ?
Lahir dalam keluarga
single parent,anak laki-laki ini memegang 3 keyainan yang berbeda tentang asal usulnya.Awalnya dia percaya
bahwa suami ibunya adalah seorang dokter bernama Theodore Homburger,adalah ayah
biologisnya.Namun ketika Erik bertambah besar,dia mulai menyadari bahwa
keyakinannya tidak benar karena rambut pirang dan mata birunya tidak cocok
dengan ciri-ciri orang tuanya yang berambut hitam dan mata hitam.Dia mendesak
pada ibunya untuk menjelaskan hal ini namun,dia berbohong dan mengaatakan
kepadanya seorang lelaki bernama Valdemar Salomonsen-suami pertamanya-adalah
ayah biologisnya,dan bahwa dia meninggalkan sang ibu ketika megandung
Erik.Akhirnya,Erik memilih untuk percaya bahwa dia adalah hasil perbuatan tidak
senonoh antara ibunya dengan seorang seniman Denmark yang berbakat.Untuk sisa
hidupnya,Erik mempercayai 3 cerita ini namun,dia terus mencari sendiri identitasnya
dengan cara mencari nama ayah biologisnya yang sesengguhnya.
Selama usia
sekolah,ciri-ciri Skandinavian Erik memberikan kontribusi bagi kebingungan
identitasnya.Ketika masuk ke sinagog orang Yahudi,mata biru dan rambut pirang
membuat dia terlihat seperti orang asing.Tetapi disekolah umum,teman-taman
aryanya menyebut dia anak Yahudi sehingga dia merasa seperti orang luar dikedua
tempat ini.Diseluruh hidupnya dia memiliki kesulitan untuk menerima dirinya
sebagai orang Yahudi ataukah non-Yahudi.
Ketika ibunya
meninggal,Erik yang saat itu berusia 58 tahun takut tidak akan pernah
mengetahui identitas ayah biologisnya,karena itu dia terus
mencarinya.Ahrinya,lebih dari 30 tahun kemudian dan ketika pikiran dan tubuhnya
sudah sangat renta,Erik kehilangan minat untuk mencari tau jati diri ayah
biologisnya. Namun begitu,ia terus menunjukan kebingungan
identitasnya.Contehnya ia kebanyakan berbicara dalam bahasa Jerman yang
digunakan ketika muda,dan jarang berbicara dalam bahasa inggris,bahasa utamanya
selama lebih 60 tahun.Selain itu dia mempertahankan kedekatan sepanjang hayat
dengan Denmark dan orang-orang negeri itu,dan menunujukan rasa bangga ketika
memasang bendera Denmark dalam rumahnya,sebuah negeri yang tidak pernah dia
tinggali sedikitpun.
BAB II
TEORI POST FREUDIAN
Erikson adalah seorang
tokoh yang selalu dikaitkan dengan istilah krisis identitas. Erikson tidak
memiliki gelar apa pun dari bidang studi apa pun namun, kurangnya pendidikan
normal ini tidak mencegah dia mencapai ketenaran mendunia di beragam bidang
studi yang mengesankan, seperti psikoanalisis, antropologi, psikosejarah, dan
pendidikan.
Tidak
seperti para teoritisi psikodinamis sebelumnya yang pernah terikat sepenuhnya
dengan psikoanalisis Freudian, Erikson memaksudkan teorinya untuk mengembangkan
asumsi-asumsi Freud bukan menentangnya dan menawarkan “sebuah cara baru melihat
berbagai hal” (Erikson, 1963, hlm. 403). Teori post-Freudian memperluas
tahap-tahap perkembangan infantile Freud menuju masa remaja, masa dewasa dan
usia senja. Erikson yakin bahwa di setiap tahapan, sebuah pergulatan
psikososial spesifik memberikan kontribusi bagi pembentukan kepribadian. Dari
masa remaja seterusnya, pergulatan itu mengambil bentuk krisis identitas -
sebuah titik balik dalam hidup seseorang yang bisa memperkuat atau melemahkan
kepribadian.
Erikson menganggap teori
post-Freudiannya perluasan psikoanalisis, sesuatu yang mungkin sudah dilakukan
juga oleh Freud dalam beberapa hal. Selain itu, untuk mengelaborasikan
tahapan-tahapan psikoseksual selanjutnya setelah masa kanak-kanak, Erikson
menekankan lebih banyak kepada pengaruh-pengaruh sosial dan historis.
Teori post-Freudian Erikson,
seperti halnya teori kepribadian lainnya, adalah refleksi dari latar belakang
penciptanya, sebuah latar belakang yang meliputi seni, perjalanan yang luas,
pengalaman-pengalaman dengan beragam budaya, dan pencarian seumur hidup
identitasnya sendiri.
BAB III
SEJARAH ERIKSON
Jadi siapakah Erik
Erikson ? Apakah dia orang Denmark, Jerman ataukah Amerika ? Yahudi ataukah
non-Yahudi ? Seniman ataukah Psikoanalis ? Erikson sendiri kesulitan menjawab
pertanyaan ini dan dia menghabiskan hampir seluruh hidup untuk menentukan siapa
dirinya sebenarnya ?
Lahir pada 15 Juni 1902
di Jerman selatan,Erikson debesarkaan oleh ibu kandung dan ayah tirinya namun
saat itu dia masih tidak mengetahui jati diri ayah kandungnya.Untuk menemukan
makna dalam hidup,Erikson mengenmbara jauh dari rumah selama masa
remaja,mengambil bentuk kehidupan sebagai seniman dan penyair pengelana.Setalah
hampir 7 tahun berpetualang dan menyelidiki,dia kembali pulang ke rumah dengan
penuh kebingungan,kelelahan,depresi dan tidak sanggup membuat sketsa ataupun
lukisan.Pada waktu ini,sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya.Dia menerima
sepucuk surat dari temannya Peter Blos yang mengundang dia mengajar anak-anak
di sebuah sekolah baru di Wina. Salah satu pendiri sekolah ini adalah
Anna Freud yang bukan hanya menjadi bos Erikson,tetapi psikoanalisnya juga.
Ketika menjalani perawatan analis,dia menceritakan kepada Anna Freud bahwa
masalahnya yang paling sulit adalah penvarian identiras ayah kandungnya.Namun
nona Freud ini tidak beitu tertarik dan menyuruh Erikson untuk berhenti
berfantasi tentang ayahnya yang tidak pernah ada.Meskipun erikson biasanya
mematuhi psikoanalisnya namun,untuk hal ini dia tidak bisa menerima nasihat
Anna agar berhenti mencari jati diri
sang ayah.
Ketika di Wina Erikson
bertemu dan atas seijin Anna freud menikahi Joan Serson,seorang
penari,seniman,dan guru kebangsaan Canada,yang juga mengalami sesi
analis.Dengan latar belakang Psikoanalitiknya dan kemampuannya berbahasa
inggris,Joan menjadi editor sekaligus penulis pendamping yang berharga bagi buku Erikson.
Erikson memiliki 4 anak
:toga putra Kai,John,dan Neil,dan satu puteri Sue.Kai dan Sue mengejar karir
professional yang penting namun John,mengikuti pengalaman ayahnya sebagao
seniman pengembara,bekerja sebagai buruh dan tidak pernah merasakan kedekatan
emosional dengan orangtuanya.
Pencarian identitas
Erikson membawanya kedalam pengalaman sulit selama tahap perkembangan dewasanya
(Friedman,1999).menurut Erikson tahapan ini mensyaratkan seseorang untuk
mengasuh anak,produk-produk,dan ide yang sudah dibangkitkan sebelumnya untuk
hal ini,Erikson tidak bisa memenuhi standarnya sendiri.Dia gagal mengasuh Neil
yang lahir dengan Sindrom Down.Di rumah sakit ketika Joan masih tinggal di
bangsal ibu melahirkan,Erik setuju untuk memasukkan Neil kedalam institusi
kejiwaan.Kemudian dia pulang dan menceritakan kepada 3 anaknya bahwa adiknya
sudah meninggal ketika lahir.Dia berbohong kepada mereka seperti ibunya sudah
membohongi tentang identitas ayah kandungnya.Dikemudian hari,Erikson
menceritakan kebenaran ini pada Kai putra tertuanya namun tetap berbohong
kepada John dan Sue.Meskipun kebohongan
ibunya sudah membuat erikson begitu teertekan namun dia gagal memahami bahwa
kebohongannya tentang Neil membuat anaknya tertekan juga.Ketika menipu anaknya
seperti itu Erikson sudah melanggar 2 prinsip ajarannya sendiri,”jangan
berbohong kepada mereka yang harusnya kamu rawat”,dan “jangan membuat anggota
keluarga bertengkar satu sama lain.”Untuk menceritakan yang sesungguhnya ketika
Neil meninggal di usia 20 tahun,keluarga Erikson yang saat itu sedang berada di
Eropa memanggil Sue dan John dan memerintahkan mereka menangani semua urusan
pemakaman adik dan tidak [ernah mereka temui dan yang saat itu baru mengetahu
kalau mereka memiliki adik (Friedman,1999).
Erikson juga mencari
identitasnya dengan berganti pekerjaan dan tempat tinggal.Karena tidak memiliki
gelar akademik,diap[un tidak memilikii identitas professional sepesifik,dan
umumnya dikena; sebagai seniman, psikolog, psikoanalis, klinisi, professor,
antropolog budaya, eksistensialis psikobigrafer dan cendekiawan masyarakat.
Pada 1933,dengan kebangkutan rasisme di Eropa Erikson dan keluarganya
meninggalkan Wina dan pindah untuk sementara waktu ke Denmark,berharap dapat
memperoleh kewarganegaraan disana.Ketika pemerintah Denmark menolak
permintaannya,diapun meninggalkan Kopenhagem dan berimigrasi ke Amerika
Serikat.Di Amerika,erikson melanjutkan polanya berpindah tempat.Dia pertama
tinggal di sekitar Boston tempatnya membuka praktik Psikoanalisis yang sudah
dimodifikasi.tanpa gelar medis maupun
gelar universitas manapun,dia menerima posisi sebagai peneliti di rumah
Sakit Umum Massachussets,Fakultas kedokteran Harvard dan klinik psikologi
Harvard.
Erikson ingin
menulis,tetapi karena waktu yang diberikan jadwalnya yang padat di Boston dan
Cambridge yang sangat sedikit,diapun menerima tawaran di Yale pada 1936 namun
m,setelah 2 setengah tahun dia pindah lagi,kali ini ke University of California
di Berkeley,dan menghabiskan beberapa waktu tinggal di tengah-tengah suku
Indian Sioux di cagar budaya Pine Ridge,South Dakota,untuk memp[elajario mereka.beberapa
tahun kemudian dia kembali tinggal di tengah-tengah suku Indian Yurok di
Califprnia Utara,dan semua pengalaman dalam antropologi budaya ini melengkapi
konsep kemanusiannya dengan unsure-unsur yang kaya dan lengkap.
Selama periode
California ini, Erikson secara bertahap mengembangkan sebuah teori kepribadian
yang berbeda dari freudnamun tidak bermaksud menentangnya. Pada 1950, erikson
menerbitkan Childhood and Society, sebuah judul yang sekilas tampaknya menjadi
perangkum dari bab-bab yang isinyatidak saling berkaitan. Namun, akhirnya dia
menyadari bahwa pengaruh dari faktor-faktor
psikologis, budaya, dan historis mengenai identitas adalah elemen yang
melandasi penyatuan bab-bab yang beragam itu. Childhood and Society, karya
klasik yang mengantarkan Erikson kepada reputasi internasional sebagai pemikir
yang penuh imajinatif, merupakan pengenalan terbaik bagi teori kepribadian
post-freudiannya.
Pada tahun 1960,
Erikson kembali ke Harvard dan selama 10 tahun berikutnya, memegang posisi
sebagai professor di bidang perkembangan manusia. Setelah pensiun, Erikson
meneruskan karier aktifnya_menulis, memberikan kuliah dan menangani pasien.
Selama tahun-tahun awal sehabis [pension, dia berpindah-pindah dari Marin
County di California ke Cambridge di Massachussets, dan kemudian ke Cape Cod.
Selama perubahan domisili ini pun, Erikson masih terus mencari jati diri
ayahnya, sampai akhirnya dia meninggal pada 12 Mei 1994 di usia 91 tahun.
BAB IV
PSIKOLOGI EGO
Sebelumnya kita sudah mengetahui
bahwa Freud menggunakan analogi kuda dan penunggangnya untuk menggambarkan
hubungan id dan ego. Penunggang kuda(ego) pada akhirnya harus tunduk pada
kesediaan kuda(id) yang jauh lebih kuat ketimbang dirinya untuk menuruti perintahnya.
Ego tidak memiliki kekuatan dari dirinya sendiri, dia harus meminjam energinya
dari id. Selain itu, ego secara konstan
berusaha menyeimbangkan tuntunan-tuntunan membabi-buta superego kepada
daya-daya id yang tidak kenal lelah dan kesempatan-kesempatan yang realistic
dunia eksternal. Freud percaya bahwa, pada manusia yang sehat, ego sudah
berkembang untuk mampu mengendalikan id meskipun kontrolnya masih rapuh dan
impuls-impuls id masih dapat mengganggu dan mengalahkannya kapan pun.
Sebaliknya,
Erikson yakni bahwa ego kita merupakan sebuah kekuatan positif yang menciptakan
identitas diri, sebuah pengertian tentang “aku”. Sebagai pusat kepribadian, ego
membantu kita beradaptasi dengan beragam konflik dan krisis kehidupan dan
menjaga kita dari kehilangan individualitas di hadapan daya-daya social. Selama
masa kanak-kanak, ego lemah, fleksibel, dan rapuh, tetapi pada masa remaja dia
harus mulai mengambil bentuk tertentu dan memperoleh kekuatannya. Di seluruh
fase hidup kita, ego menyatukan kepribadian dan menjaga kita dari ketercabikan.
Erikson melihat ego sebagai badan pengorganisasian yang sebagian bekerja secara
bawah sadar untuk mensintesiskan pengalaman-pengalaman kita di masa kini dengan
identitas diri di masa lalu dan gambaran diri ke depan. Erikson mendefinisikan
ego sebagai kemampuan pribadi untuk menyatukan pengalaman dan tindakan dengan
cara yang adaptif (Erikson, 1963).
Erikson
(1968) mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait: ego-tubuh,
ideal-ego, dan identitas-ego. Ego-tubuh
(body ego) mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, sebuah
cara melihat diri fisik kita sebagai hal yang berbeda dari milik orang lain.
Kita mungkin dapat merasa puas atau tidak dengan cara tubuh terlihat atau berfungsi namun, kita
sadar kalau hanya tubuh ini saja yang kita miliki. Ideal-ego (ego ideal) merepresentasikan imaji-imaji yang kita
miliki tentang diri kita sendiri jika dibandingkan dengan gambar ideal ego yang
lain. Ideal ego bertanggung jawab bagi rasa puas atau tidak, bukan hanya yang
berkaitan dengan diri fisik kita namun, juga dengan seluruh identitas personal
kita. Identitas-ego (ego identity) adalah
imaji yang kita miliki tentang diri kita di beragam peran social yang kita
mainkan. Meskipun remaja biasanya merupakan masa saat ketiga komponen ini
berubah paling cepat, perubahan-perubahan di dalam ego-tubuh, ideal-ego dan
identitas-ego dapat dan selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.
A. Pengaruh Masyarakat
Meskipun kemampuan bawaan penting dalam
perkembangan kepribadian namun, ego muncul dari dan kebanyakan dibentuk oleh
masyarakat. Penekanan Erikson terhadap faktor-faktor sosial dan historis berkebalikan dengan sudut
pandang Freud yang kebanyakan bersifat biologis. Bagi Erikson, pada waktu
manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi namun, untuk menjadi aktual dia
harus hadir dalam lingkungan cultural. Masyarakat-masyarakat yang berbeda,
dengan variasi mereka dalam praktik pengasuhan anak, cenderung membentuk
kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka sendiri.
Contohnya,
Erikson (1963) menemukan bahwa pengasuhan bayi yang lama dan permisif dari Suku
Sioux (kadang-kadang sampai 4 atau 5 tahun lamanya) menghasilkan sesuatu yang
setara yang disebut Freud kepribadian “oral”: yaitu manusia yang mencapai kesenangan besar melalui fungsi-fungsi mulut.
Suku Sioux menempatkan nilai yang tinggi terhadap kebaikan hati, dan Erikson
percaya bahwa hasil yang pasti dari pemberian ASI tak terbatas ini menyediakan
pondasi bagi kebaikan hati. Namun begitu, orangtua Suku Sioux segera menghukum
gigitan yang terjadi, sebuah praktik yang dapat memberikan kontribusi bagi daya
tahan sekaligus kemarahan.
Di
sisi lain, manusia-manusia Suku Yurok menetapkan regulasi yang ketat terkait
pengeliminasian urin dan feses, praktik yang cenderung berkembang kepada kepribadian
“anal”, atau kerapian, kekeraskepalaan, dan kekacauan yang kompulsif. Di
masyarakat Amerika-Eropa, oralitas, dan analitas sering kali dianggap sebagai
karakter yang tidak diinginkan atau malah menjadi simtom-simtom neurotik. Namun
begitu, Erikson (1963), berpendapat bahwa oralitas di antara para pemburu Suku
Sioux dan analitas di antara nelayan Yurok memiliki ciri adaptif yang membantu
individu sekaligus budaya mereka.
Fakta
bahwa budaya Amerika-Eropa melihat oralitas dan analitas sebagai karakter yang
menyimpang hanya dianggap sebagai kekhasan etnosentris oleh masyarakat lainnya.
Erikson (1968, 1974) berpendapat bahwa semua suku atau bangsa yang historis,
termasuk Amerika Serikat sendiri, telah mengembangkan apa yang disebutnya pseudospesies:
yaitu sebuah ilusi yang mendominasi dan disebarkan oleh masyarakat tertentu,
sesuatu yang sudah dipilih untuk menjadi prasyarat bagi sebuah spesies manusia.
Di abad-abad lalu, keyakinan ini menolong suku-suku bertahan hidup namun,
dengan cara-cara modern dalam bentuk pemusnahan global, persepsi yang
diasumsikan seperti itu (seperti ditunjukkan Nazi Jerman) malah mengancam
pertahanan hidup setiap bangsa.
Salah satu kontribusi utama Erikson bagi teori
kepribadian adalah perluasan tahap-tahap awal perkembangan Freudian sampai
meliputi usia sekolah, masa muda, masa dewasa dan masa tua. Sebelum melihat
teori Erikson tentang perkembangan ego ini lebih jauh, kita harus membahas
lebih dulu pandangannya tentang bagaimana kepribadian berkembang dari satu
tahap ke tahap berikutnya.
B.
Prinsip
Epigenetik
Erikson
percaya bahwa ego berkembang diberagam tahap kehidupan menurut prinsip
epigenetic, sebuah istilah yang di pinjamkan dari embriologi. Perkembangan
epigenetic menghasilkan pertumbuhan organ-organ bayi tahap-demi-tahap. Embrio
tidak di mulai sebagai manusia kecil yang sudah berkembang sepenuhnya,
melainkan harus menunggu pengembangan struktur dan bentuknya. Sebaliknya,
ketika berkembang atau mestinya berkembang, maka perkembangan itu di dasarkan
pada proporsi yang sudah di tentukan dengan cara yang tetap. Jika mata, hati,
atau organ lain tidak berkembang selama periode kritis perkembangannya, mereka
tidak akan pernah mencapai kematangan yang tepat.
Dengan
cara yang sama, ego mengikuti jalan perkembangan epigenetic, dimana setiap
tahapannya berkembang pada waktu yang tepat. Satu tahap muncul dari dan
dibangun di atas tahap sebelumnya namun, tidak menghilangkan atau menggantikan
tahap sebelumnya. Perkembangan epigenetic ini analog dengan perkembangan fisik
anak-anak, yang merangkap terlebih dahulu sebelum dapat berjalan, berjalan
terlebih dahulu sebelum dapat berlari, dan berlari terlebih dahulu sebelum
dapat melompat. Ketika anak-anak masih dalam tahap merangkak, mereka sedang
mengambangkan potensi untuk berjalan, berlari dan melompat. Setelah mereka masih
mempertahankan kemampuan sebelumnya dalam berlari, berjalan dan merangkak.
Erikson (1968) melukiskan prinsip epigenetic dengan menyatakan “apa pun yang
tumbuh memiliki sebuah rancangan dasar, dan dari rancangan dasar ini setiap
rancangan partikuler muncul, dimana setiap bagiannya memiliki waktu khusus
untuk muncul, sampai kemudian semua bagiannya muncul untuk membentuk sebuah
keseluruhan yang berfungsi”. Ringkasnya, “epigenesis berarti bahwa sebuah
karakteristik berkembang di atas karakteristik lain dalam alur ruang dan
waktu”.
Prinsip
epigenetik ini di ilustrasikan dalam gambar A, yang berisi 3 tahap perkembangan
pertama Erikson. Urutan-urutan tahapan (1,2,3) dan perkembangan bagian-bagian
komponen mereka (A,B,C) ditunjukkan dengan kotak yang bergaris tebal dalam arah
diagonal. Gambar A menunjukkan bahwa setiap bagian sudah hadir sebelumwaktu
kritis (min. sebagai potensi biologis), muncul pada waktu yang tepat, dan
akhirnya terus berkembang selama tahap-tahap berikutnya. Sebagai contoh,
komponen B di tahap 2 (masa kanak-kanak awal) sudah hadir selama tahap 1 (masa
bayi) seperti ditunjukkan di kotak 1b. Bagian B baru mencapai tingkat
perkembangan penuh selama tahap 2 (kotak 2b) namun, terus berlanjut di semua
tahapan berikutnya (erikson, 1982).
Bagian-bagian
(Gambar A)
A B C
3a
|
3b
|
3c
|
2a
|
2b
|
2c
|
1a
|
1b
|
1c
|
Tahap Bermain 3
Kanak-kanak Awal 2
Masa Bayi 1
BAB V
TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Psikososial
dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh social yang
berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
Untuk memahami ke delapan tahap
perkembangan psikososia Erikson, kita memerlukan sebuah pengertian tentang
beberapa hal dasar. Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetic.
Yaitu, satu bagian komponen muncul dari bagian komponen sebelumnya dan memiliki
waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya
komponen-komponen sebelumnya.
Kedua,disetiap tahap kehidupan
pendapat sebuah interaksi hal-hal yang berlawanan-yaitu konflik antara elemen
sintonik (harmonis) dan elemen distonik ( konflik). Sebagai contoh, pada masa
bayi kepercayaan yang dasar (kecenderungan sintonik) bertentangan dengan
ketidakpercayaan dasar (kecenderungan distonik). Namun rasa percaya dan tidak percaya ini dibutuhkan
bagi pengadaptasian yang tepat. Bayi yang hanya belajar percaya akan menjadi
naïf dan tidak siap menghadapi realitas-realitas ditahap perkembangan
berikutnya, sementara bayi hanya belajar tidak percaya menjadi terlalu banyak
curiga dan sinis. Dengan cara yang sama, disetiap 7 tahapan yang lain, manusia
harus memiliki pengalaman harmoni (sintonik) maupun pengalaman konflik
(distonik).
Ketiga, disetiap tahapan, konflik
antara elemn-elemen distonik dan sintonik menghasilkan sebuah kualitas ego atau
kekuatan ego, yang disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength). Sebagai
contoh, dari antithesis antara rasa percaya dan tidak percaya muncullah
harapan, sebuah kualitas ego yang mengijinkan pergerakan ke tahap selanjutnya.
Deengan cara yang sama, masing-masing tahapan yang lain ditandai oleh kekuatan
ego dasar yang muncul dari pertentangan elemen-elemen harmoni dan konflik
tahapan tersebut.
Keempat, kekeuatan dasar yang
terlalu kecil disetiap tahapan akan menghasilkan patologi inti (core phatology)
ditahapan tersebut. Contohnya, seorang
anak yang tidak mencapai kekuatan dasar harapan yang cukup selama masa bayi
akan mengembangkan antithesis atau lawan dari harapan, yaitu penarikan diri
(withdrawal). Dan setiap tahapan memiliki hanya satu patologi inti yang
potensial.
Kelima, meskipun erikson
menyebutkan kedelapan tahapan ini sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak
pernah melepaskan keberadaan aspek biologis perkembangan manusia.
Keenam, peristiwa-peristiwa
ditahap-tahap sebelumnya bukan satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian
berikutnya. Lebih tepatnya, identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik
dan peristiwa-masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan.
Ketujuh, selama tahap
perkembangan namun, khusus dari masa remaja kedepan, perkembngan kepribadian
dicirikan oleh sebuah krisis identitas, yang disebut Erikson “sebuah titik
balik”, sebuah periode krusial dari potensi yang semakin rapuh dan meninggi.”
Karena itu, di setiap krisis, setiap pribadi secara khusus terbuka bagi
modifikas-modifikasi utama dalam identitas, entah positif maupun negative.
Berlawanan dari pengertian populernya, krisis identitas bukan peristiwa yang
membawa bencana melainkan kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri
yang entah bersifat adaptif maupun kekeliruan-adaptif.
Delapan tahap perkembangan
psikososial Erikson ini ditunjukkan di dalam Gambar B. Kata-kata yang ditulis
dalam huruf besar tebal adalah kual;itas ego atau kekuatan dasar ego yang
muncul dari konflik atau krisis psikososial yang mencirikan setiap periode.
Istilah vs. memisahkan elemen sintonik dan distonik yang menandai bukan hanya
hubungan antithesis namun, juga komplementer. Hanya kotak-kotak di sepanjang
garis diagonal saja yang diisi keterangan-artinya, kotak yang dibuat dalam
huruf tebal dalam Gambar B hanya menunjukkan kekuatan dasar dan krisis
psikososial yang menjadi cirri paling umum dari setiap tahap perkembangan itu.
Namun demikian , prinsip epigenetic menyatakan bahwa semua kotak yang lain juga
harus diisi keterangan (seperti dalam Gambar A), meskipun keterangan cirri-ciri
ini bukanlah karakteristik utama di setiap tahap perkembangan psikososial
tersebut. Setiap keterangan di setiap
kotak sangat vital bagi perkembangan kepribadian,dan masing-masing berkaitan
satu sama lain dengan seluruh kotak pada diagram tersebut.
Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia
dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :
1. Masa Bayi
Tahap psikososial
pertama adalah masa bayi. Menurut Erikson, masa bayi adalah masa memasukan
(incorporation), dimana bayi bukan hanya memasukkan benda-benda leat mulut,
tetapi juga lewat beragam organ indra mereka.
Lewat mata, contohnya, bayi
memasukkan beragam stimulus visual. Ketika memasukkan makanan dan informasi
indrawi, bayi belajar untuk percaya atau tidak percaya kepada dunia luar,sebuah
situasi yang memberi mereka harapan yang
realistik. Masa bayi, kalau begitu, ditandai oleh mode psikoseksual
oral-penginderaan, krisis psikososialnya rasa percaya mendasar versus rasa
tidak percaya mendasar, dan kekuatan dasarnya harapan.
Trust versus Mistrust (Kepercayaan vs
Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa
oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami
konflik antara percaya dan tidak percaya. Tugas
yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. dan merasa terancam terus menerus. Rasa percaya tersebut menuntut
perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi
sangat penting. Ketika sadar bahwa ibu selalu
menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya
dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang
menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih banyak lagi rasa percaya
mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan visual yang menyenangkan, mereka dapat
memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat lagi. Dengan kata lain, jika
pola mereka menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan
hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi akan
belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan anatar
kebutuhan-kebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka
tinggal.
Rasa
percaya dasar biasanya bersifat sitonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar
bersifat distonik. Meskipun begitu bayi harus mengembangkan kedua sikap ini.
Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhadap tipu
muslihat dunia, sementara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa
frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme atau depresi.
Keduanya
rasa percaya dan tidak percaya mendasar merupakan pengalaman yang tidak
terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah medapatkan makan dan
perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain
itu, semua bayi yang sudah difrustasikan oleh rasa sakit, lapar, dan tidak
nyaman memiliki alasan yang cukup untuk tidak percaya. Erikson yakni bahwa
rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk
beradaptasi. Dia mengatakan kepada Richard Evans (1967) bahwa “saat kita
memasuki sebuah situasi, kita harus
sanggup membedakan seberapa banyak kita dapat percaya dan seberapa banyak kita
harus tidak percaya dan saya menggunakan rasa tidak percaya dalam pengertian
kesiapan menghadapi bahaya dan sebuah antisipasi bagi rasa tidak nyaman”.
Konflik
tak terelakkan antara rasa percaya mendasar dan rasa tidak percaya mendasar
menghasilkan krisis psikososial pertama manusia. Jika manusiaberhasil
menyelesaikan krisis ini, mereka akan mendapatkan kekuatan dasar pertama mereka
harapan.
2.
Masa
Kanak-kanak Awal
Tahap
psikososial kedua adalah masa kanak-kanak adalah masa kanak-kanak awal, sebuah
periode yang paralel dengan tahap anal Freud dan mencakup kira-kira tahun ke-2
sampai ke-3. Sekali lagi, sejumlah perbedaan muncul antara pendapat Freud dan
Erikson. Sebelumnya kita sudah melihat Freud menganggap anus sebagai zona erogen utama periode ini dan selama fase
anal-sadistik awal, di mana yang pertama anak-anak menerima raa senang dalam
merusak atau menghilangkan objek-objek, sementara yang kedua mereka mencari kepuasan dengan buang air
besar. Sekali lagi, Erikson mengambil sebuah pandangan yang lebih luas.
Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari menguasai otot-otot
anus dan perut namun, juga dari menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya seperti
buang air kecil, berjalan,melempar,dan sebagainya. Selain itu, anak-anak
mengembangkan perasaan kontrol atas lingkungan antarpribadi mereka, sama
seperti mengukur kontrol diri mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal
juga merupakan waktu untuk mengalami keraguan dan rasa malu ketika anak belajar
bahwa sebagian besar upaya mereka mencapai otonomi tidak berhasil.
Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu)
Pada
tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya
disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4
tahun atau pada akhir masa bayi dan masa mulai berjalan. Setelah memperoleh
kepercayaan, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka
sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari
kemauan mereka. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian
(otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Pada tahap
ini bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri
diatas kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan mereka, maka anak akan
mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri
sendiri. Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau
terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan
mengalami rasa malu dan ragu-ragu.
3. Usia Bermain
Tahap ketiga perkembangan Erikson adalah usia
bermain, sebuah periode yang meliputi masa yang sama dengan fase falik Freud.
Initiative
versus Guilt (Inisiatif vs Kesalahan)
Tahap ketiga adalah tahap
kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun
(pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk
belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak
terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang
lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia
memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab
pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan
belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi
semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka
memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa
bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang
diinginkannya.
4.
Usia
Sekolah
Industry versus Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas)
Tahap
keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6
sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah
diri. Pada tahap ini anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan
segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan
bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi produktif serta
alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, bila anak tidak berhasil
menguasai ketrampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh
guru dan orangtuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.
5. Masa Remaja
Masa
remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang krusial, karena di akhir
periode ini seseorang harus mencapai perasaan identitas ego yang teguh.
Identity versus Identity Confusion (Identitas vs Kekacauan Identitas)
Tahap
kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan
berakhir pada usia 18 atau 20 tahun atau selama masa remaja. Pencapaian
identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang
harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson, “masa ini merupakan masa yang
mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai
tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui
siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.” Ia
mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia
adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah
masyarakat, baik peran yanSeg bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat
memperbaharui. Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan social dan
histories di pihak lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis
ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran atau
kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas,
hampa dan bimbang.
6. Masa Dewasa Muda
Setelah
mencapai perasaan identitas selama masa remaja, manusia harus meraih kemampuan
untuk mencampurkan identitas tersebut dengan identitas orang lain sembari
mempertahankan perasaan individualitas mereka.
Intimacy versus Isolation (Keintiman
vs Isolasi)
Tahap
pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki
jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai
kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri atau membentuk relasi intim dengan orang
lain. Menurut Erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan
seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai.
Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi, yakni
kecenderungan menghindari hubungan secara intim dengan orang lain, kecuali
dalam lingkup yang amat terbatas.
7. Masa Dewasa
Tahap
perkembangan ke tujuh adalah masa dewasa, waktu ketika manusia mulai mengambil
tempat di masyarakat dan mengasumsikan sebuah tanggung jawab bagi apa pun yang
dihasilkan masyarakat.
Generativity versus Stagnation (Generativitas vs Stagnasi)
Tahap
yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Masa dewasa madya berada
pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30
sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam
terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas
untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat
melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan
(keturunan, produk, ide, dsb) serta pembentukan dan penetapan garis-garis
pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan
generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson dengan “generativitas”.
Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadain akan
mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi.
8. Usia Senja
Tahap
kedelapan dan terakhir Erikson adalah usia senja Erikson masih berumur
40-an tahun ketika dia pertama kalimengonseptualisasikan tahapan ini sehinggaa
dengan semena-mena mendefinisikannya sebagai periodedari usia 60-an tahun
sampai akhir hayat manusia.
Integrity versus Despair (Integritas vs Keputusasaan)
Tahap
terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh
orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas atau selama akhir masa
dewasa. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah
cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia
senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan
kekecewaan. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir
kehidupannya menoleh kebelakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam
hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan
kegagalan yang dialaminya, merasaaman dan tentram, serta menikmati hidup
sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi orang tua yang dihantui oleh
perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan
kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa.
.
KESIMPULAN
Erikson yakni bahwa ego kita
merupakan sebuah kekuatan positif yang menciptakan identitas diri, sebuah
pengertian tentang “aku”. Sebagai pusat kepribadian, ego membantu kita beradaptasi
dengan beragam konflik dan krisis kehidupan dan menjaga kita dari kehilangan
individualitas di hadapan daya-daya social. Selama masa kanak-kanak, ego lemah,
fleksibel, dan rapuh, tetapi pada masa remaja dia harus mulai mengambil bentuk
tertentu dan memperoleh kekuatannya. Di seluruh fase hidup kita, ego menyatukan
kepribadian dan menjaga kita dari ketercabikan. Erikson melihat ego sebagai
badan pengorganisasian yang sebagian bekerja secara bawah sadar untuk
mensintesiskan pengalaman-pengalaman kita di masa kini dengan identitas diri di
masa lalu dan gambaran diri ke depan. Erikson mendefinisikan ego sebagai
kemampuan pribadi untuk menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang
adaptif (Erikson, 1963).
Erikson
(1968) mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait: ego-tubuh,
ideal-ego, dan identitas-ego. Ego-tubuh
(body ego) mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, sebuah
cara melihat diri fisik kita sebagai hal yang berbeda dari milik orang lain.
Kita mungkin dapat merasa puas atau tidak dengan cara tubuh terlihat atau berfungsi namun, kita
sadar kalau hanya tubuh ini saja yang kita miliki. Ideal-ego (ego ideal) merepresentasikan imaji-imaji yang kita
miliki tentang diri kita sendiri jika dibandingkan dengan gambar ideal ego yang
lain. Ideal ego bertanggung jawab bagi rasa puas atau tidak, bukan hanya yang
berkaitan dengan diri fisik kita namun, juga dengan seluruh identitas personal
kita. Identitas-ego (ego identity) adalah
imaji yang kita miliki tentang diri kita di beragam peran social yang kita
mainkan. Meskipun remaja biasanya merupakan masa saat ketiga komponen ini
berubah paling cepat, perubahan-perubahan di dalam ego-tubuh, ideal-ego dan
identitas-ego dapat dan selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata Sumadi. Psikologi
Kepribadian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
Papalia.D., Old. S., Feldman.
Human Development. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.
Feist Jess.,
Feist J Gregory. Theories of
Personality. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2008
http://cndyoktavia.wordpress.com/2011/02/19/teori-psikoanalisa-freud-dan-erikson/ kamis, 29 maret 2012 jam 14.45